Kamis, 21 Juli 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001

Pasal 12 B

(1)   Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap emberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.  yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.  yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2)   Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001

Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :
a.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c.   hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d.   seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorangmemberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f.  pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan,telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i.     pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG GRATIFIKASI SEBAGAI SALAH SATU DELIK TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Rionald Sidjabat

ABSTRAK Penulisan hukum yang berjudul Tinjauan Yuridis Tentang Gratifikasi Sebagai Salah Satu Delik
Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana bertujuan untuk mengetahui bagaimana ruang
lingkup dan pengaturan gratifikasi sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi dalam Hukum Pidana,
mengetahui bagaimana penanganan Hukum Pidana terhadap gratifikasi, dan mengetahui faktor-faktor
penghambat dalam penanganan gratifikasi serta langkah-langkah solusinya. Penulisan hukum ini termasuk
penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber data sekunder baik yang berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah dengan cara dokumentasi data sekunder yang berbentuk peraturan perundang-undangan, artikel
maupun dokumen lain yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokannya yang tepat. Dalam
penulisan hukum ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data
yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa sebagai delik
baru dalam rangkaian perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi, delik gratifikasi diatur
pada Pasal 12B dan 12C UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Latar belakang pengaturan delik gratifikasi, pengertian tentang
gratifikasi, kualifikasi delik gratifikasi dalam jenis-jenis delik menurut Hukum Pidana, unsur-unsur delik
gratifikasi yang dianggap pemberian suap, jenis-jenis gratifikasi, dan ketentuan pemidanaan delik gratifikasi
merupakan ruang lingkup dari delik gratifikasi. Kemudian dalam usaha penanganannya Hukum Pidana
menyediakan perangkat hukum yang mengatur sistem mekanisme pelaporan gratifikasi dan sistem
pembalikan beban pembuktian sebagai bentuk penanganan delik gratifikasi. Dalam implementasinya
ketentuan delik gratifikasi mempunyai faktor-faktor yang menghambat diantaranya faktor-faktor penghambat
dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian, dalam penerapan sistem mekanisme pelaporan
gratifikasi, dari segi kelemahan yuridis materiil, dari segi tidak adanya ketentuan normatif, dan dari aspek
sosial kultural masyarakat. Untuk mengatasi faktor-faktor penghambat tersebut, maka perlu ditempuh
langkah-langkah solutifnya diantaranya penerapan prinsip umum peradilan pada sistem pembalikan beban
pembuktian, sosialisasi untuk efektifitas sistem mekanisme pelaporan gratifikasi, amandemen
perundang-undangan untuk memperbaiki kelemahan yuridis materiil, pengadaan aturan hukum yang
mendukung implementasi delik gratifikasi, serta merubah paradigma masyarakat untuk mengatasi benturan
ketentuan delik gratifikasi dengan aspek sosial kultural masyarakat. Implikasi teoritis penelitian ini adalah
perlu adanya pemahaman yang komprehensif mengenai delik gratifikasi dalam berbagai aspeknya untuk
efektifitas implementasi ketentuan delik gratifikasi, sedangkan implementasi praktisnya adalah bahwa
penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana yang dapat memberikan pengertian tentang delik gratifikasi
sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi. Kata-kata kunci : gratifikasi, hukum pidana, tindak pidana
korupsi