Jumat, 25 Oktober 2013

Menuju Good Governance Melalui E-Gov

Menuju Good Governance Melalui E-Gov

Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government). Kunci untuk menciptakan good governance adalah suatu kepemimpinan nasional yang memiliki legitimasi dan dipercayai oleh masyarakat. Pemimpin yang kredibel, visisoner, adil dan jujur dapat menjadi salah satu jawaban bagi terbentuknya pemenyelenggaraan pemerintahan yang baik. 
Salah satu instrumen untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) adalah melalui penerapan E-Government. 

Definisi E-Gov

E-gov didefinisikan sebagai upaya pemanfaatan dan pendayagunaan telematika untuk meningkatkan efisiensi dan cost-effective pemerintahan, memberikan berbagai jasa pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik, menyediakan akses informasi kepada publik secara lebih luas, dan menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih bertanggung jawab (accountable) serta transparan kepada masyarakat. Pada intinya E-Government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara Pemerintah dan pihak-pihak lain. Penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan bentuk baru seperti: G2C (Government to Citizen), G2B (Government to Business Enterprises), dan G2G (inter-agency relationship).

Manfaat E-Gov

Beberapa manfaat e-gov adalah (1) menurunkan biaya administrasi; (2) meningkatkan kemampuan response terhadap berbagai permintaan dan pertanyaan tentang pelayanan publik baik dari sisi kecepatan maupun akurasi; (3) dapat menyediakan akses pelayanan untuk semua departemen atau LPND pada semua tingkatan; (4) memberikan asistensi kepada ekonomi lokal maupun secara nasional; (5) sebagai sarana untuk menyalurkan umpan balik secara bebas, tanpa perlu rasa takut.

E-Government ini membawa banyak manfaat, antara lain:
  • Pelayanan servis yang lebih baik kepada masyarakat. Informasi dapat disediakan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor. Informasi dapat dicari dari kantor, rumah, tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan.
  • Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum. Adanya keterbukaan (transparansi) maka diharapkan hubungan antara berbagai pihak menjadi lebih baik. Keterbukaan ini menghilangkan saling curiga dan kekesalan dari kesemua pihak
  • Pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh. Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh, data-data tentang sekolahan (jumlah kelas, daya tampung murid, passing grade, dan sebagainya) dapat ditampilkan secara online dan digunakan oleh orang tua untuk memilihkan sekolah yang pas untuk anaknya.
  • Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien. Sebagai contoh, koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui email atau bahkan video conferencing. Bagi Indonesia yang luas areanya sangat besar, hal ini sangat membantu. Tanya jawab, koordinasi, diskusi antara pimpinan daerah dapat dilakukan tanpa kesemuanya harus berada pada lokasi fisik yang sama. Tidak lagi semua harus terbang ke Jakarta untuk pertemuan yang hanya berlangsung satu atau dua jam, misalnya.
Implementasi E-Gov

E-Government ini dapat diimplementasikan dalam berbagai cara. Contoh-contohnya antara lain:
  • Penyediaan sumber informasi, khususnya informasi yang sering dicari oleh masyarakat. Informasi ini dapat diperoleh langsung dari tempat kantor pemerintahan, dari kios info (info kiosk), ataupun dari Internet (yang dapat diakses oleh masyarakat dimana pun dia berada). Informasi ini dapat berupa informasi potensi daerah sehingga calon investor dapat mengetahui potensi tersebut. Tahukah anda berapa pendapatan daerah anda? Komoditas apa yang paling utama? Bagaimana kualitas Sumber Daya Manusia di daerah anda? Berapa jumlah perguruan tinggi di daerah anda? Di era otonomi daerah, fungsi penyedia sumber informasi ini dapat menjadi penentu keberhasilan.
  • Penyediaan mekanisme akses melalui kios informasi yang tersedia di kantor pemerintahan dan juga di tempat umum. Usaha penyediaan akses ini dilakukan untuk menjamin kesetaraan kesempatan untuk mendapatkan informasi.
  • E-procurement dimana pemerintah dapat melakukan tender secara on-line dan transparan.

INPRES R.I. NOMOR : 3 TAHUN 2003

BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2003
TENTANG
KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL
PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat serta potensi
pemanfaatannya secara luas, membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan
pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat;
b. bahwa pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam proses pemerintahan
(e-government) akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan;
c. bahwa untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik (good governance) dan
meningkatkan layanan publik yang efektif dan efisien diperlukan adanya kebijakan
dan strategi pengembangan e-government;
d. bahwa dalam pelaksanaannya diperlukan kesamaan pemahaman, keserempakan
tindak dan keterpaduan langkah dari seluruh unsur kelembagaan pemerintah, makadipandang perlu untuk mengeluarkan Instruksi Presiden bagi pelaksanaan kebijakan
dan strategi pengembangan e-government secara nasional.
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000 - 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 206);
3. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2003 tentang Tim Koordinasi Telematika
Indonesia;
4. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan
Telematika di Indonesia;
MENGINSTRUKSIKAN :
Kepada : 1. Menteri;
2. Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen;
3. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara;
4. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
5. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
6. Jaksa Agung Republik Indonesia;
7. Gubernur;
8. Bupati/Walikota.
- 1 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Untuk :
PERTAMA : Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masingmasing
guna terlaksananya pengembangan e-Government secara nasional dengan berpedoman
pada Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government sebagaimana ter-cantum
dalam Lampiran Instruksi Presiden ini.
KEDUA : Merumuskan rencana tindak di lingkungan instansi masing-masing dengan berkoordinasi
dengan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi.
KETIGA : Melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA yang
dikoordinasikan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi.
KEEMPAT : Melaksanakan Instruksi Presiden ini sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan
melaporkan hasil pelaksanaannya secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Presiden.
Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.
Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juni 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
ttd. Lambock V. Nahattands
- 2 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN I
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2003
TANGGAL 9 JUNI 2003
KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT
Motivasi Kebijakan E-Government
Tuntutan Perubahan
1. Indonesia pada saat ini tengah mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara secara fundamental
menuju ke sistem kepemerintahan yang demokratis transparan serta meletakkan supremasi hukum.
Perubahan yang tengah dialami tersebut memberikan peluang bagi penataan berbagai segi kehidupan
berbangsa dan bernegara, dimana kepentingan rakyat dapat kembali diletakkan pada posisi sentral. Namun
setiap perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu disertai oleh berbagai bentuk ketidakpastian.
Dengan demikian pemerintah harus mengupayakan kelancaran komunikasi dengan lembaga-lembaga tinggi
negara, pemerintah daerah serta mendorong partisipasi masyarakat luas, agar ketidakpastian tersebut tidak
mengakibatkan perselisihan paham dan ketegangan yang meluas, serta berpotensi menimbulkan
permasalahan baru. Pemerintah juga harus lebih terbuka terhadap derasnya aliran ekspresi aspirasi rakyat dan
mampu menanggapi secara cepat dan efektif.
2. Penataan berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara itu terjadi pada lingkungan kehidupan antar
bangsa yang semakin terbuka, dimana nilai-nilai universal di bidang ekonomi dan perdagangan, politik,
kemanusiaan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup saling berkaitan secara kompleks. Apa yang
dilaksanakan tidak akan lepas dari pengamatan masyarakat internasional. Dalam hal ini pemerintah harus
mampu memberikan informasi yang komprehensif kepada masyarakat internasional agar tidak terjadi
kesalahpahaman yang dapat meletakkan bangsa Indonesia pada posisi yang serba salah. Perubahan yang
sedang dijalani terjadi pada saat dunia sedang mengalami transformasi menuju era masyarakat informasi.
Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat serta potensi pemanfaatannya secara luas, membuka
peluang bagi pengaksesan, pengelolaan, dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat
dan akurat. Kenyataan telah menunjukkan bahwa penggunaan media elektronik merupakan faktor yang
sangat penting dalam berbagai transaksi internasional, terutama dalam transaksi perdagangan.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kecenderungan global tersebut akan membawa bangsa
Indonesia ke dalam jurang digital divide, yaitu keterisolasian dari perkembangan global karena tidak mampu
memanfaatkan informasi. Oleh karena itu penataan yang tengah kita laksanakan harus pula diarahkan untuk
mendorong bangsa Indonesia menuju masyarakat informasi.
Pemerintah yang Diharapkan
3. Perubahan-perubahan di atas menuntut terbentuknya kepemerintahan yang bersih, transparan, dan mampu
menjawab tuntutan perubahan secara efektif. Pemerintah harus mampu memenuhi dua modalitas tuntutan
masyarakat yang berbeda namun berkaitan erat, yaitu :
a. Masyarakat menuntut pelayanan publik yang memenuhi kepentingan masyarakat luas di seluruh wilayah
negara, dapat diandalkan dan terpercaya, serta mudah dijangkau secara interaktif.
b. Masyarakat menginginkan agar asiprasi mereka didengar dengan demikian pemerintah harus
memfasilitasi partisipasi dan dialog publik di dalam perumusan kebijakan negara.
4. Untuk menjawab tantangan tersebut pemerintah pusat dan daerah harus mampu membentuk dimensi baru ke
dalam organisasi, sistem manajemen, dan proses kerjanya yang antara lain meliputi :
a. Selama ini pemerintah menerapkan sistem dan proses kerja yang dilandaskan pada tatanan birokrasi yang
kaku. Sistem dan proses kerja semacam itu tidak mungkin menjawab perubahan yang kompleks dan
dinamis, dan perlu ditanggapi secara cepat. Oleh karena itu di masa mendatang pemerintah harus
mengembangkan sistem dan proses kerja yang lebih lentur untuk memfasilitasi berbagai bentuk interaksi
yang kompleks dengan lembaga-lembaga negara lain, masyarakat, dunia usaha, dan masyarakat
internasional.
b. Sistem manajemen pemerintah selama ini merupakan sistem hirarki kewenangan dan komando sektoral
yang mengerucut dan panjang. Untuk memuaskan kebutuhan masyarakat yang semakin beraneka ragam
dimasa mendatang harus dikembangkan sistem manajemen modern dengan organisasi berjaringan
sehingga dapat memperpendek lini pengambilan keputusan serta memperluas rentang kendali.
- 3 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
c. Pemerintah juga harus melonggarkan dinding pemisah yang membatasi interaksi dengan sektor swasta,
organisasi pemerintah harus lebih terbuka untuk membentuk kemitraan dengan dunia usaha (publicprivate
partnership).
d. Pemerintah harus mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk meningkatkan kemampuan
mengolah, mengelola, menyalurkan, dan mendistribusikan informasi dan pelayanan publik.
5. Dengan demikian pemerintah harus segera melaksanakan proses transformasi menuju e-government. Melalui
proses transformasi tersebut, pemerintah dapat mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi
untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi birokrasi, serta membentuk jaringan sistem manajemen dan
proses kerja yang memungkinkan instansi-instansi pemerintah bekerja secara terpadu untuk
menyederhanakan akses ke semua informasi dan layanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah.
Dengan demikian seluruh lembaga-lembaga negara, masyarakat, dunia usaha, dan pihak-pihak
berkepentingan lainnya dapat setiap saat memanfaatkan informasi dan layanan pemerintah secara optimal.
Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan yang kuat di masing-masing institusi atau unit pemerintahan agar
proses transformasi menuju e-government dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Menuju E-Government Tujuan Pengembangan E-Government
6. Pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan
yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif
dan efisien. Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di
lingkungan pemerintah dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi
informasi tersebut mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan yaitu :
(1) pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis;
(2) pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah
oleh masyarakat di seluruh wilayah negara.
7. Untuk melaksanakan maksud tersebut pengembangan e-government diarahkan untuk mencapai 4 (empat)
tujuan, yaitu :
a. Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki kualitas dan lingkup yang
dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah Indonesia pada setiap saat
tidak dibatasi oleh sekat waktu dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
b. Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan perkembangan perekonomian
nasional dan memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional.
c. Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga negara serta penyediaan
fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara.
d. Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta memperlancar
transaksi dan layanan antar lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.
Kondisi Saat Ini Kesiapan Memanfaatkan Teknologi Informasi
8. Pemanfaatan teknologi informasi pada umumnya ditinjau dari sejumlah aspek sebagai berikut :
a. E-Leadership; aspek ini berkaitan dengan prioritas dan inisiatif negara di dalam mengantisipasi dan
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
b. Infrastruktur Jaringan Informasi; aspek ini berkaitan dengan kondisi infrastruktur telekomunikasi serta
akses, kualitas, lingkup, dan biaya jasa akses.
c. Pengelolaan Informasi; aspek ini berkaitan dengan kualitas dan keamanan pengelolaan informasi, mulai
dari pembentukan, pengolahan, penyimpanan, sampai penyaluran dan distribusinya.
d. Lingkungan Bisnis; aspek ini berkaitan dengan kondisi pasar, sistem perdagangan, dan regulasi yang
membentuk konteks bagi perkembangan bisnis teknologi informasi, terutama yang mempengaruhi
kelancaran aliran informasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha, antar badan usaha,
antara badan usaha dengan masyarakat, dan antar masyarakat.
e. Masyarakat dan Sumber Daya Manusia, aspek ini berkaitan dengan difusi teknologi informasi didalam
kegiatan masyarakat baik perorangan maupun organisasi, serta sejauh mana teknologi informasi
disosialisasikan kepada masyarakat melalui proses pendidikan.
9. Berbagai studi banding yang dilakukan oleh organisasi internasional menunjukkan bahwa kesiapan Indonesia
masih rendah dan untuk memperbaikinya diperlukan inisiatif dan dorongan yang kuat dari pemerintah.
- 4 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Inisiatif E-Government Sampai Saat Ini
10. Pada saat ini telah banyak instansi pemerintah pusat dan daerah berinisiatif mengembangkan pelayanan
publik melalui jaringan komunikasi dan informasi.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan
Informasi, mayoritas situs pemerintah dan pemerintah daerah otonom berada pada tingkat pertama
(persiapan), dan hanya sebagian kecil yang telah mencapai tingkat dua (pematangan). Sedangkan tingkat tiga
(pemantapan) dan tingkat empat (pemanfaatan) belum tercapai.
11.Observasi secara lebih mendalam menunjukkan bahwa inisiatif tersebut di atas belum menunjukan arah
pembentukan e-government yang baik. Beberapa kelemahan yang menonjol adalah :
a. pelayanan yang diberikan melalui situs pemerintah tersebut, belum ditunjang oleh sistem manajeman dan
proses kerja yang efektif karena kesiapan peraturan, prosedur dan keterbatasan sumber daya manusia
sangat membatasi penetrasi komputerisasi ke dalam sistem manajemen dan proses kerja pemerintah;
b. belum mapannya strategi serta tidak memadainya anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan egovernment
pada masing-masing instansi;
c. Inisiatif-inisiatif tersebut merupakan upaya instansi secara sendiri-sendiri; dengan demikian sejumlah
faktor seperti standardisasi, keamanan informasi, otentikasi, dan berbagai aplikasi dasar yang
memungkinkan interoperabilitas antar situs secara andal, aman, dan terpercaya untuk mengintegrasikan
sistem manajemen dan proses kerja pada instansi pemerintah ke dalam pelayanan publik yang terpadu,
kurang mendapatkan perhatian.
d. pendekatan yang dilakukan secara sendiri-sendiri tersebut tidak cukup kuat untuk mengatasi kesenjangan
kemampuan masyarakat untuk mengakses jaringan internet, sehingga jangkauan dari layanan publik yang
dikembangkan menjadi terbatas pula.
Strategi Pengembangan E-Government
12.Dengan mempertimbangkan kondisi saat ini, pencapaian tujuan strategis e-government perlu dilaksanakan
melalui 6 (enam) strategi yang berkaitan erat, yaitu :
a. Mengembangkan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas.
b. Menata sistem manajemen dan proses kerja pemerintah dan pemerintah daerah otonom secara holistik.
c. Memanfaatkan teknologi informasi secara optimal.
d. Meningkatkan peran serta dunia usaha dan mengembangkan industri telekomunikasi dan teknologi
informasi.
e. Mengembangkan kapasitas SDM baik pada pemerintah maupun pemerintah daerah otonom, disertai
dengan meningkatkan e-literacy masyarakat.
f. Melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan-tahapan yang realistik dan terukur.
13. Strategi 1 - Mengembangkan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat
luas. Masyarakat mengharapkan layanan publik yang terintegrasi tidak tersekat-sekat oleh batasan organisasi
dan kewenangan birokrasi. Dunia usaha memerlukan informasi dan dukungan interaktif dari pemerintah
untuk dapat menjawab perubahan pasar dan tantangan persaingan global secara cepat. Kelancaran arus
informasi untuk menunjang hubungan dengan lembaga-lembaga negara, serta untuk menstimulasi partisipasi
masyarakat merupakan faktor penting dalam pembentukan kebijakan negara yang baik. Oleh karena itu,
pelayanan publik harus transparan, terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas melalui jaringan
komunikasi dan informasi. Strategi ini mencakup sejumlah sasaran sebagai berikut :
a. Perluasan dan peningkatan kualitas jaringan komunikasi dan informasi ke seluruh wilayah negara pada
tingkat harga yang dapat terjangkau oleh masyarakat, dengan sejauh mungkin melibatkan partisipasi
dunia usaha.
b. Pembentukan portal-portal informasi dan pelayanan publik yang dapat mengintegrasikan sistem
manajemen dan proses kerja instansi pemerintah terkait, sehingga masyarakat pengguna tidak merasakan
sekat-sekat organisasi dan kewenangan di lingkungan pemerintah, sasaran ini akan diperkuat dengan
kebijakan tentang kewajiban instansi pemerintah dan pemerintah daerah otonom untuk menyediakan
informasi dan pelayanan publik secara on-line.
c. Pembentukan jaringan organisasi pendukung (back-office) yang menjembatani portal-portal informasi dan
pelayanan publik tersebut di atas dengan situs dan sistem pengolahan dan pengelolaan informasi yang
terkait pada sistem manajemen dan proses kerja di instansi yang berkepentingan. Sasaran ini mencakup
pengembangan kebijakan pemanfaatan dan pertukaran informasi antar instansi pemerintah pusat dan
daerah.
d. Pembakuan sistem manajemen dokumen elektronik, standardisasi, dan sistem pengamanan informasi
untuk menjamin kelancaran dan keandalan transaksi informasi antar organisasi diatas.
- 5 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
14. Strategi 2 - Menata sistem dan proses kerja pemerintah dan pemerintah daerah otonom secara holistik.
Pencapaian Strategi-1 harus ditunjang dengan penataan sistem manajemen dan proses kerja di semua instansi
pemerintah pusat dan daerah. Penataan sistem manajemen dan prosedur kerja pemerintah harus dirancang
agar dapat mengadopsi kemajuan teknologi informasi secara cepat. Penataan itu harus meliputi sejumlah
sasaran yang masing-masing atau secara holistik membentuk konteks bagi pembentukan kepemerintahan
yang baik, antara lain meliputi :
a. Fokus kepada kebutuhan masyarakat, kewibawaan pemerintah sangat dipengaruhi oleh kemampuan
menyelenggarakan pelayanan publik yang dapat memuaskan masyarakat serta memfasilitasi partisipasi
masyarakat dan dialog publik dalam pembentukan kebijakan negara.
b. Manajemen perubahan, pengembangan kepemerintahan yang baik hanya dapat dicapai apabila didukung
oleh komitmen yang kuat dari seluruh tingkatan manajemen untuk melakukan perubahan-perubahan
sistem manajemen dan proses kerja secara kontinyu, agar pemerintah dapat menghadapi perubahan pola
kehidupan masyarakat yang semakin dinamis dan pola hubungan internasional yang semakin kompleks.
Organisasi pemerintah harus ber-evolusi menuju organisasi jaringan, dimana setiap unsur instansi
pemerintah berfungsi sebagai simpul dalam jaringan desentralisasi kewenangan dengan lini pengambilan
keputusan yang sependek mungkin dan tolok ukur akuntabilitas yang jelas.
c. Penguatan e-leadership, penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dan
pemerintah daerah otonom perlu ditunjang oleh penguatan kerangka kebijakan yang fokus dan konsisten
untuk mendorong pemanfaatan teknologi informasi, agar simpul-simpul jaringan organisasi di atas dapat
berinteraksi secara erat, transparan, dan membentuk rentang kendali yang efektif.
d. Rasionalisasi peraturan dan prosedur operasi, termasuk semua tahapan perubahan, perlu diperkuat dengan
landasan peraturan dan prosedur operasi yang berorientasi pada organisasi jaringan, rasional, terbuka,
serta mendorong pembentukan kemitraan dengan sektor swasta.
15. Strategi 3 - Memanfaatkan teknologi informasi secara optimal.
Pelaksanaan setiap strategi memerlukan kemampuan dalam melaksanakan transaksi, pengolahan, dan
pengelolaan berbagai bentuk dokumen dan informasi elektronik dalam volume yang besar, sesuai dengan
tingkatannya.
Kemajuan teknologi informasi dan perkembangan jaringan komunikasi dan informasi memberikan peluang
yang luas bagi instansi pemerintah untuk memenuhi keperluan tersebut. Agar pemanfaatan teknologi
informasi di setiap instansi dapat membentuk jaringan kerja yang optimal, maka melalui strategi ini sejumlah
sasaran yang perlu diupayakan pencapaiannya, adalah sebagai berikut :
a. Standardisasi yang berkaitan dengan interoperabilitas pertukaran dan transaksi informasi antar portal
pemerintah.
b. Standardisasi dan prosedur yang berkaitan dengan manajemen dokumen dan informasi elektronik
(electronic document management system) serta standardisasi meta-data yang memungkinkan pemakai
menelusuri informasi tanpa harus memahami struktur informasi pemerintah.
c. Perumusan kebijakan tentang pengamanan informasi serta pembakuan sistem otentikasi dan public key
infrastucture untuk menjamin keamanan informasi dalam penyelenggaraan transaksi dengan pihak-pihak
lain, terutama yang berkaitan dengan kerahasiaan informasi dan transaksi finansial.
d. Pengembangan aplikasi dasar seperti e-billing, e-procurement, e-reporting yang dapat dimanfaatkan oleh
setiap situs pemerintah untuk menjamin keandalan, kerahasiaan, keamanan dan interoperabilitas transaksi
informasi dan pelayanan publik.
e. Pengembangan jaringan intra pemerintah untuk mendukung keandalan dan kerahasiaan transaksi
informasi antar instansi pemerintah dan pemerintah daerah otonom.
16. Strategi 4 – Meningkatkan Peran Serta Dunia Usaha dan Mengembangkan Industri Telekomunikasi dan
Teknologi Informasi.
Pengembangan pelayanan publik tidak perlu sepenuhnya ditangani oleh pemerintah. Partisipasi dunia usaha
dapat mempercepat pencapaian tujuan strategis e-government. Beberapa kemungkinan partisipasi dunia
usaha sebagai berikut perlu dioptimalkan :
a. Dalam mengembangkan komputerisasi, sistem manajemen, proses kerja, serta pengembangan situs dan
pembakuan standard, pemerintah harus mendayagunakan keahlian dan spesialisasi yang telah
berkembang di sektor swasta.
b. Walaupun pelayanan dasar bagi masyarakat luas harus dipenuhi oleh pemerintah, namun partisipasi dunia
usaha untuk meningkatkan nilai informasi dan jasa kepemerintahan bagi keperluan-keperluan tertentu
harus dimungkinkan.
c. Peran dunia usaha untuk mengembangkan jaringan komunikasi dan informasi di seluruh wilayah negara
merupakan faktor yang penting. Demikian pula partisipasi usaha kecil menengah untuk menyediakan
akses serta meningkatkan kualitas dan lingkup layanan warung internet perlu didorong untuk memperluas
- 6 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
jangkauan pelayanan publik. Semua instansi terkait harus memberikan dukungan dan insentif, serta
meninjau kembali dan memperbaiki berbagai peraturan dan ketentuan pemerintah yang menghambat
partisipasi dunia usaha dalam memperluas jaringan dan akses komunikasi dan informasi.
Di samping itu, perkembangan e-government akan membentuk pasar yang cukup besar bagi perkembangan
industri teknologi informasi dan telekomunikasi. Dengan demikian pemerintah harus memanfaatkan
perkembangan e-government untuk menumbuhkan industri dalam negeri di bidang ini. Oleh karena
perkembangan industri di bidang ini sangat dipengaruhi oleh tarikan pasar dan dorongan kemajuan teknologi,
maka dukungan bagi industri tersebut harus mencakup penyediaan akses pasar pemerintah seluas-luasnya,
dukungan penelitian dan pengembangan, serta penyediaan insentif untuk mengatasi berbagai bentuk
kesenjangan dan tingkat risiko yang berkelebihan yang menghambat investasi dunia usaha dibidang ini dalam
mengembangkan kemampuan teknologi.
17. Strategi 5 - Mengembangkan kapasitas sumber daya manusia (SDM), baik pada pemerintah maupun
pemerintah daerah otonom, disertai dengan meningkatkan e-literacy masyarakat.
Sumber daya manusia (SDM) baik sebagai pengembang, pengelola maupun pengguna e-government
merupakan faktor yang turut menentukan bahkan menjadi kunci keberhasilan pelaksanakan dan
pengembangan e-government.
Untuk itu, perlu upaya peningkatan kapasitas SDM dan penataan dalam pendayagunaannya, dengan
perencanaan yang matang dan komprehensif sesuai dengan kebutuhan, serta pelaksanaannya dilakukan
secara bertahap dan berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan non formal,
maupun pengembangan standar kompetensi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan implementasi egovernment.
Upaya pengembangan SDM yang perlu dilakukan untuk mendukung e-government adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya informasi serta pendayagunaan teknologi
informasi dan komunikasi (e-literacy), baik di kalangan pemerintah dan pemerintah daerah otonom
maupun di kalangan masyarakat dalam rangka mengembangkan budaya informasi ke arah terwujudnya
masyarakat informasi (information society).
b. Pemanfaatan sumberdaya pendidikan dan pelatihan termasuk perangkat teknologi informasi dan
komunikasi secara sinergis, baik yang dimiliki oleh lembaga pemerintah maupun non
pemerintah/masyarakat.
c. Pengembangan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi lembaga pemerintah agar hasil
pendidikan dan pelatihan tersebut sesuai dengan kebutuhan pengembangan dan pelaksanaan egovernment.
d. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknologi informasi dan komunikasi bagi aparat pelaksana
yang menangani kegiatan bidang informasi dan komunikasi dan aparat yang bertugas dalam memberikan
pelayanan publik, maupun pimpinan unit/lembaga, serta fasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi calon
pendidik dan pelatih maupun tenaga potensial di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang
diharapkan dapat mentransfer pengetahuan/keterampilan yang dimiliki kepada masyarakat di
lingkungannya.
e. Peningkatan kapasitas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jarak jauh (distance learning) dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal untuk pemerataan atau mengurangi
kesenjangan SDM di bidang teknologi informasi dan komunikasi antar daerah.
f. Perubahan pola pikir, sikap dan budaya kerja aparat pemerintah yang mendukung pelaksanaan egovernment
melalui sosialisasi/penjelasan mengenai konsep dan program e-government, serta contoh
keberhasilan (best practice) pelaksanaan e-government.
g. Peningkatan motivasi melalui pemberian penghargaan/apresiasi kepada seluruh SDM bidang informasi
dan komunikasi di pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat yang secara aktif mengembangkan
inovasi menjadi karya yang bermanfaat bagi pengembangan dan pelaksanaan e-government.
18. Strategi 6 - Melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan yang realistik dan terukur.
Setiap perubahan berpotensi menimbulkan ketidakpastian, oleh karena itu pengembangan e-government perlu
direncanakan dan dilaksanakan secara sistematik melalui tahapan yang realistik dan dan sasaran yang
terukur, sehingga dapat difahami dan diikuti oleh semua pihak. Berdasarkan sifat transaksi informasi dan
pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah melalui jaringan informasi, pengembangan e-government
dapat dilaksanakan melalui 4 (empat) tingkatan sebagai berikut :
> Tingkat 1 - Persiapan yang meliputi :
- Pembuatan situs informasi disetiap lembaga;
- Penyiapan SDM;
- Penyiapan sarana akses yang mudah misalnya menyediakan sarana Multipurpose Community Center,
Warnet, SME-Center, dll;
- Sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk publik.
- 7 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
> Tingkat 2 - Pematangan yang meliputi :
- Pembuatan situs informasi publik interaktif;
- Pembuatan antar muka keterhubungan dengan lembaga lain;
> Tingkat 3 - Pemantapan yang meliputi :
- Pembuatan situs transaksi pelayanan publik;
- Pembuatan interoperabilitas aplikasi maupun data dengan lembaga lain.
> Tingkat 4 - Pemanfaatan yang meliputi :
- Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat G2G, G2B dan G2C yang terintegrasi.
- Situs pemerintah pusat dan daerah harus secara bertahap ditingkatkan menuju ke tingkat - 4. Perlu
dipertimbangkan bahwa semakin tinggi tingkatan situs tersebut, diperlukan dukungan sistem
manajemen, proses kerja, dan transaksi informasi antar instansi yang semakin kompleks pula. Upaya
untuk menaikkan tingkatan situs tanpa dukungan yang memadai, akan mengalami kegagalan yang
tidak hanya menimbulkan pemborosan namun juga menghilangkan kepercayaan masyarakat. Untuk
menghindari hal tersebut, perlu dibakukan sejumlah pengaturan sebagai berikut :
a. Standar kualitas dan kelayakan situs pemerintah bagi setiap tingkatan perkembangan di atas.
b. Peraturan tentang kelembagaan dan kewenangan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan
transaksi informasi yang dimiliki pemerintah. Pengaturan ini harus mencakup batasan tentang hak
masyarakat atas informasi, kerahasiaan dan keamanan informasi pemerintah (information
security), serta perlindungan informasi yang berkaitan dengan masyarakat (privacy).
c. Persyaratan sistem manajemen dan proses kerja, serta sumber daya manusia yang diperlukan agar
situs pemerintah dapat berfungsi secara optimal dan mampu berkembang ke tingkat yang lebih
tinggi.
Dengan demikian strategi ini harus dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan Strategi-2.
Langkah Pelaksanaan
19. Pengembangan e-government harus dilaksanakan secara harmonis dengan mengoptimalkan hubungan antara
inisiatif masing-masing instansi dan penguatan kerangka kebijakan untuk menjamin keterpaduannya dalam
suatu jaringan sistem manajemen dan proses kerja. Pendekatan ini diperlukan untuk mensinergikan dua
kepentingan, yakni (1) kepentingan pendayagunaan pemahaman dan pengalaman masing-masing instansi
tentang pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, dan (2) kepentingan untuk penataan sistem
manajemen dan proses kerja yang terpadu.
20. Setiap instansi pemerintah pusat dan daerah harus menyusun Rencana Strategis Pengembangan egovernment
di lingkungannya masing-masing. Rencana Strategis itu dengan jelas menjabarkan lingkup dan
sasaran pengembangan e-government yang ingin dicapai; kondisi yang dimiliki pada saat ini; strategi dan
tahapan pencapaian sasaran yang ditentukan; kebutuhan dan rencana pengembangan sumber daya manusia;
serta rencana investasi yang diperlukan. Untuk menghindari pemborosan anggaran pemerintah, penyusunan
rencana investasi harus disertai dengan analisis kelayakan investasi terhadap manfaat sosial-ekonomi yang
dihasilkan.
21.Untuk menjamin transparansi pelayanan publik serta keterpaduan dan interoperabilitas jaringan sistem
pengelolaan serta pengolahan dokumen dan informasi elektronik yang mendukungnya, maka perencanaan
dan pengembangan situs pelayanan publik pada setiap instansi harus berorientasi pada kerangka arsitektur egovernment
seperti diuraikan pada Lampiran II.
22.Kementerian yang bertanggung jawab dibidang komunikasi dan informasi; berkewajiban untuk
mengkoordinasikan penyusunan kebijakan, peraturan dan perundang-undangan, standardisasi, dan panduan
yang diperlukan untuk melandasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan e-government. Beberapa
aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah:
a. Kebijakan tentang pengembangan tata pemerintahan yang baik dengan berlandaskan manajemen modern.
b. Kebijakan tentang pemanfaatan, kerahasiaan, dan keamanan informasi pemerintah dan perlindungan
informasi publik
c. Kebijakan tentang kelembagaan dan otorisasi pemanfaatan dan pertukaran informasi pemerintah secara
on-line.
d. Kebijakan tentang peran serta sektor swasta dalam penyelenggaraan e-government.
e. Kebijakan tentang pendidikan e-government.
f. Ketentuan tentang standar kelayakan dan interopabilitas situs informasi dan pelayanan publik
g. Panduan tentang sistem manajemen informasi dan dokumen elektronik
h. Panduan tentang aplikasi, mutu, dan jangkauan pelayanan masyarakat
- 8 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
i. Panduan tentang perencanaan, pengembangan, dan pelaporan proyek e-government.
j. Standardisasi yang berkaitan dengan interoperabilitas pertukaran dan transaksi informasi antar situs
pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah.
k. Standardisasi dan prosedur yang berkaitan dengan manajemen informasi dan dokumen elektronik,
termasuk pengembangan dan pengelolaan meta-data yang berkaitan dengan informasi dan dokumen
elektronik tersebut. Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk pengamanan informasi serta
pengembangan sistem otentikasi dan public key infrastructure.
l. Pengembangan aplikasi dasar seperti e-billing, e-procurement, e-reporting+ yang dapat dimanfaatkan
oleh setiap situs pemerintah.
m. Pengembangan dan pengelolaan jaringan intra pemerintah yang andal dan aman.
Kebijakan, peraturan dan perundang-undangan, standardisasi, dan panduan tersebut membentuk kerangka
pelaksanaan kebijakan e-government yang terpadu dan konsisten, seperti diuraikan pada Lampiran III.
Menteri Komunikasi dan Informasi juga berkewajiban untuk mengkoordinasi-kan pelaksanaan
pengembangan e-government serta melaporkan kemajuan dan permasalahan-permasalahannya.
23.Kementerian yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara berkewajiban untuk
memfasilitasi perencanaan dan perubahan sistem manajemen dan proses kerja instansi pemerintah pusat dan
daerah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perencanaan perubahan sistem manajemen dan prosedur kerja tersebut harus dilandaskan pada konsep
manajemen modern dan menuju pada sistem manajemen organisasi jaringan yang memungkinkan
distribusi serta interoperabilitas kewenangan dan kewajiban secara optimal sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta terbentuknya lini pengambilan keputusan yang lebih pendek dan
pengelolaan rentang kendali yang lebih luas.
b. Perencanaan perubahan sistem manajemen dan proses kerja harus berorientasi pada pemanfaatan
teknologi informasi secara optimal.
c. Di dalam perumusan peraturan yang berkaitan dengan perubahan sistem manajemen dan proses kerja,
semua instansi pemerintah harus dilibatkan dan diminta memberikan konsep perubahan sistem
manajemen dan prosedur kerja di lingkungannya masing-masing. Rumusan peraturan pemerintah dan
ketentuan pelaksanaannya harus merupakan kesepakatan antar instansi.
d. Pandangan dan saran dari dunia usaha yang telah terbukti berhasil menerapkan sistem manajemen
moderen perlu diusahakan.
24.Kementerian yang bertanggung jawab di bidang perhubungan berkewajiban untuk mendorong partisipasi
dunia usaha dalam pengembangan jaringan komunikasi dan informasi di seluruh wilayah negara. Untuk
keperluan itu peraturan dan ketentuan pemerintah yang menghambat perlu segera diperbaiki sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kementerian yang bertanggung jawab dibidang perhubungan juga
harus merumuskan kebijakan dan merencanakan pengembangan community tele-center di wilayah-wilayah
yang pangsa pasarnya belum cukup ekonomis bagi investasi dunia usaha, sebagai bagian dari pelaksanaan
Universal Service Obligation.
25.Kementerian yang bertanggung jawab di bidang riset dan teknologi berkewajiban untuk mengkoordinasikan
kemampuan teknologi yang ada di lembaga penelitian dan pengembangan dan perguruan tinggi untuk
menyediakan dukungan teknologi bagi keperluan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi dalam
pengembangan e-government serta pengembangan industri teknologi informasi dan telekomunikasi .
26.Kementerian yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional dan di bidang keuangan
berkewajiban untuk menganalisis kelayakan pembiayaan rencana strategis e-government dari masing-masing
instansi pemerintah, serta memfasilitasi dan mengintegrasikan rencana tersebut ke dalam rencana
pengembangan e-government secara menyeluruh. Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian khusus
adalah:
a. Arah dan sasaran penggunaan anggaran pemerintah untuk menstimulasi pencapaian tujuan strategis egovernment.
b. Prinsip-prinsip dan kriteria pembiayaan yang harus diterapkan agar pelaksanaan strategi pengembangan
e-government dapat berjalan dengan baik.
c. Kerangka alokasi anggaran pemerintah untuk pengembangan e-government.
d. Ketentuan dan persyaratan pembiayaan proyek e-government.
Keterkaitan aspek-aspek tersebut membentuk kerangka kebijakan anggaran pengembangan e-government
seperti diuraikan pada Lampiran IV.
- 9 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
27.Kementerian yang bertanggung jawab di bidang pemerintahan dalam negeri berkewajiban untuk
memfasilitasi koordinasi antar pemerintah dan pemerintah daerah otonom.
28. Pelaksanaan tanggung jawab tersebut di atas harus berorientasi pada beberapa prinsip sebagai berikut :
a. Untuk meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perubahan yang tengah kita alami atau yang
mengelilingi kehidupan bangsa, pemerintah pusat Menteri Komunikasi dan Informasi juga berkewajiban
untuk mengkoordinasi-kan pelaksanaan pengembangan e-government serta melaporkan kemajuan dan
permasalahan-permasalahannya dan daerah harus dapat berfungsi secara efektif sesuai dengan
kewenangannya masing-masing dalam suatu jaringan interaksi yang responsif, andal dan terpercaya.
b. Dengan demikian semua instansi harus dilibatkan di dalam penyusunan kebijakan, peraturan dan
perundang-undangan, standardisasi, panduan yang diperlukan, sesuai dengan kewenangan dan
kompetensi yang dimiliki.
c. Pelaksanaan kegiatan di atas merupakan titik tolak untuk melonggarkan sekat-sekat birokrasi yang
merupakan persyaratan mutlak bagi pembentukan tata pamong yang baik.
d. Pengikutsertaan dunia usaha yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang bermanfaat bagi
perkembangan e-government dapat mempercepat pencapaian tujuan strategis pengembangan egovernment.
- 10 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN II
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2003
TANGGAL 9 JUNI 2003
Kerangka Arsitektur E-Government
Untuk menjamin keterpaduan sistem pengelolaan dan pengolahan dokumen dan informasi elektronik dalam
mengembangkan pelayanan publik yang transparan, pengembangan e-government pada setiap instansi harus
berorientasi pada kerangka arsitektur di bawah ini.
Kerangka arsitektur itu terdiri dari empat lapis struktur, yakni:
- Akses --- yaitu jaringan telekomunikasi, jaringan internet, dan media komunikasi lain yang dapat
dipergunakan oleh masyarakat untuk mengakses portal pelayanan publik.
- Portal Pelayanan Publik --- yaitu situs-situs internet penyedia layanan publik tertentu yang mengintegrasikan
proses pengolahan dan pengelolaan informasi dan dukumen elektronik di sejumlah instansi yang terkait.
- Organisasi Pengelolaan & Pengolahan Informasi --- yaitu organisasi pendukung (back-office ) yang
mengelola, menyediakan dan mengolah transaksi informasi dan dokumen elektronik.
- Infrastruktur dan aplikasi dasar --- yaitu semua prasarana baik berbentuk perangkat keras dan perangkat
lunak yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan, pengolahan, transaksi, dan penyaluran informasi. baik
antar back-office, antar Portal Pelayanan Publik dengan back-office, maupun antara Portal Pelayanan Publik
dengan jaringan internet, secara andal, aman, dan terpercaya.
Struktur tersebut ditunjang oleh 4 (empat) pilar, yakni penataan sistem manajemen dan proses kerja, pemahaman
tentang kebutuhan publik, penguatan kerangka kebijakan, dan pemapanan peraturan dan perundang-undangan.
- 11 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN III
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2003
TANGGAL 9 JUNI 2003
Kerangka Pelaksanaan Kebijakan DAN STRATEGI NASIONAL Pengembangan E-Government
Agar pelaksanaan kebijakan pengembangan e-government dapat dilaksanakan secara sistematik dan terpadu,
penyusunan kebijakan, peraturan dan perundang-undangan, standardisasi, dan panduan yang diperlukan harus
konsisten dan saling mendukung. Oleh karena itu perumusannya perlu mengacu pada kerangka yang utuh, serta
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembentukan pelayanan publik dan penguatan jaringan pengelolaan dan
pengolahan informasi yang andal dan terpercaya. Seperti digambarkan di bawah ini, kerangka tersebut
mengkaitkan semua kebijakan, peraturan dan perundang-undangan, standardisasi, dan panduan sehingga
terbentuk landasan untuk mendorong pembentukan kepemerintahan yang baik.
- 12 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
- 13 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software
BASIS DATA PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
LAMPIRAN IV
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2003
TANGGAL 9 JUNI 2003
Kerangka Kebijakan Anggaran Pengembangan E-Government
Pengembangan e-government memiliki lingkup kegiatan yang luas dan memerlukan investasi dan pembiayaan
yang besar. Sementara itu ketersediaan anggaran pemerintah sangat terbatas dan masih harus dipergunakan
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang harus segera diselesaikan. Oleh karena itu pengalokasian anggaran
untuk pengembangan e-government harus dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab agar anggaran yang
terbatas itu dapat dimanfaatkan secara efisien dan dapat menghasilkan daya ungkit yang kuat bagi pembentukan
tata-pamong yang baik. Dengan demikian diperlukan siklus perencanaan, pengalokasian, pemanfaatan, dan
pengevaluasian anggaran pengembangan e-government yang baik, sehingga pelaksanaan strategi untuk
pencapaian tujuan strategis e-government dapat berjalan secara efektif.
Kesenjangan yang lebar antara besarnya kebutuhan anggaran dengan keterbatasan anggaran yang dapat
disediakan akan menimbulkan pengalokasian anggaran yang buruk apabila arah dan prioritas penggunaan
anggaran tidak terdefinisi dengan baik, proses pengalokasian anggaran tidak sistematik, dan praktek
penganggaran yang tidak transparan karena lemahnya persyaratan kelayakan pembiayaan. Untuk menghindarkan
pemborosan anggaran yang merupakan uang pembayar pajak, perlu dikembangkan kerangka perencanaan dan
pengalokasian anggaran seperti tampak pada diagram di bawah.
Bentuk: INSTRUKSI PRESIDEN (INPRES)
Oleh: PRESIDEN RI
Nomor: 3 TAHUN 2003 (3/2003)
Tanggal: 9 JUNI 2003 (JAKARTA)
Sumber:
- 14 -
© Copyleft 2006 KP. Januari 2006
Created by Legal Open Source Software

Kamis, 21 Juli 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001

Pasal 12 B

(1)   Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap emberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.  yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.  yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2)   Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001

Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :
a.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c.   hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d.   seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorangmemberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f.  pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan,telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i.     pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG GRATIFIKASI SEBAGAI SALAH SATU DELIK TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Rionald Sidjabat

ABSTRAK Penulisan hukum yang berjudul Tinjauan Yuridis Tentang Gratifikasi Sebagai Salah Satu Delik
Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana bertujuan untuk mengetahui bagaimana ruang
lingkup dan pengaturan gratifikasi sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi dalam Hukum Pidana,
mengetahui bagaimana penanganan Hukum Pidana terhadap gratifikasi, dan mengetahui faktor-faktor
penghambat dalam penanganan gratifikasi serta langkah-langkah solusinya. Penulisan hukum ini termasuk
penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber data sekunder baik yang berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah dengan cara dokumentasi data sekunder yang berbentuk peraturan perundang-undangan, artikel
maupun dokumen lain yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokannya yang tepat. Dalam
penulisan hukum ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data
yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa sebagai delik
baru dalam rangkaian perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi, delik gratifikasi diatur
pada Pasal 12B dan 12C UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Latar belakang pengaturan delik gratifikasi, pengertian tentang
gratifikasi, kualifikasi delik gratifikasi dalam jenis-jenis delik menurut Hukum Pidana, unsur-unsur delik
gratifikasi yang dianggap pemberian suap, jenis-jenis gratifikasi, dan ketentuan pemidanaan delik gratifikasi
merupakan ruang lingkup dari delik gratifikasi. Kemudian dalam usaha penanganannya Hukum Pidana
menyediakan perangkat hukum yang mengatur sistem mekanisme pelaporan gratifikasi dan sistem
pembalikan beban pembuktian sebagai bentuk penanganan delik gratifikasi. Dalam implementasinya
ketentuan delik gratifikasi mempunyai faktor-faktor yang menghambat diantaranya faktor-faktor penghambat
dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian, dalam penerapan sistem mekanisme pelaporan
gratifikasi, dari segi kelemahan yuridis materiil, dari segi tidak adanya ketentuan normatif, dan dari aspek
sosial kultural masyarakat. Untuk mengatasi faktor-faktor penghambat tersebut, maka perlu ditempuh
langkah-langkah solutifnya diantaranya penerapan prinsip umum peradilan pada sistem pembalikan beban
pembuktian, sosialisasi untuk efektifitas sistem mekanisme pelaporan gratifikasi, amandemen
perundang-undangan untuk memperbaiki kelemahan yuridis materiil, pengadaan aturan hukum yang
mendukung implementasi delik gratifikasi, serta merubah paradigma masyarakat untuk mengatasi benturan
ketentuan delik gratifikasi dengan aspek sosial kultural masyarakat. Implikasi teoritis penelitian ini adalah
perlu adanya pemahaman yang komprehensif mengenai delik gratifikasi dalam berbagai aspeknya untuk
efektifitas implementasi ketentuan delik gratifikasi, sedangkan implementasi praktisnya adalah bahwa
penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana yang dapat memberikan pengertian tentang delik gratifikasi
sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi. Kata-kata kunci : gratifikasi, hukum pidana, tindak pidana
korupsi

Jumat, 18 Maret 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita2 perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnyasecara sungguh2 dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan asas2 penyelenggaraan negara.
c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan pihak lain yang dapat merusak sendi2 kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Mengingat :
1.   Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M e m u t u s k a n :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI
KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.   Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.   Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang mentaati asas2 umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi,dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3.   Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
4.   Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
5.   Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
6.   Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
7.   Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyeienggara Negara untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

BAB II
PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 2
Penyelenggara Negara meliputi :
1.   Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;
2.   Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3.   Menteri;
4.   Gubernur;
5.   Hakim;
6.   Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
7.   Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku.

BAB III
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Pasal 3
Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi :
1.   Asas Kepastian Hukum;
2.   Asas Tertib Penyelenggaraen Negara;
3.   Asas Kepentingan Umum;
4.   Asas Keterbukaan;
5.   Asas Proporsionalitas;
6.   Asas Profesionalitas; dan
7.   Asas Akuntabilitas.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 4
Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk :
1.   menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.   menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3.   menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan wewenangnya; dan
4.   mendapatkan hak2 lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :
1.   mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
2.   bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3.   melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
4.   tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5.   melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan;
6.   melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok. Dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7.   bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6
Hak dan kewajiban Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Deser 1945 dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BAB V
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 7
(1)  Hubungan antar-Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati norma2 kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
(2)  Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpegang teguh pada asas2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1)  Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
(2)  Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas2 umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 9
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk :
a.   hak mencari. memperoleh. dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;
b.   hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara;
c.   hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d.   hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1)   melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2)   diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi; dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KOMISI PEMERIKSA
Pasal 10

Untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk Komisi Pemeriksa.

Pasal 11
Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 merupakan lembaga independen yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara.

Pasal 12
(1) Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Pemeriksa dapat melakukan kerja sama dengan lembaga2 terkait baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pasal 13
(1) Keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 seorang calon anggota serendah-rendahnya berumur 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun.
(2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam hal:
a.   meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; dan
c.   tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan serta pemberhentian anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
(1) Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, 4 (empat) orang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang Anggota yang terbagi dalam 4 (empat)Subkomisi.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih oleh dan dari para anggota berdasarkan musyawarah mufakat.
(3) Empat Subkomisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :
a.   Subkomisi Eksekutif;
b. Subkomisi Legislatif:
c.   Subkomisi Yudikatif; dan
d. Subkomisi Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah.
(4) Masing2 Anggota Subkomisi sebagaimana dimaksud dalam (2) ayat (3) diangkat sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara kolegial.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa dibantu oleh Sekretariat Jenderal.
(6) Komisi Perneriksa berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
(7) Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(8) Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Pemeriksa mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya, yang berbunyi sbb. : )
"Saya bersumpah atau berianji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh2, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, dan golongan dari Penyelenggara Negara yang saya periksa, dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaikbaiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara".

"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan mempertahankan dan mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".

Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan di hadapan Presiden.

Pasal 17
(1) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
(2) Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a.   melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara;
b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi Pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c.   melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara ybs.;
d. mencari dan memperoleh bukti2, menghadirkan saksi2 untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen2 dari pihak2 yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara ybs.;
e.   jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tsb sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah ybs menjabat.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksan kekayaan penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Hasil perneriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan. 
(2) Khusus hasil perneriksaan atas kekayaan Penyelenggara negara yang dilakukan oleh Subkomisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung.
(3) Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tsb disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti.

Pasal 19
(1) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
S A N K S I
Pasal 20
(1) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 4, 5, atau 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 
(2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angKa
4    atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 22
Setiap Penyeienggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).





BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Dalam waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak undang-undang ini mulai berlaku, setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya dan bersedia dilakukan perneriksaan terhadap kekayannya sesuaidengan ketentuan dalam undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang  ini dengan penempatannya dalam Lembara Negara R.I.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA RI
ttd.

PROF. DR. H. MULADI S.H.


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 75



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN
BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME


U M U M
Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ‹alah semangat para Penyelenggara Negara dan pernimpin pemerintahan.

Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, Penyelenggara Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ituterjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu, masyarakat pun belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara.

Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkankelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh Penyeienggara Negara, ntar-Penyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.

Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari seluruh Penyelenggara Negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya, yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana diamanatkan oieh Ketetapan Majelis Perrnusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-undang ini memuat tentang kegentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang ini merupakan bagian atau subsistem dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok undangundang ini adalah para Penyelenggara Negara yang meliputi Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat Negara, dan atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyeienggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyeienggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

Pengaturan tentang peren serta masyarakat dalam undangundang ini dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap penyelenggaraan negara dengan tetap mnenaati rambu-rambu hukum yang berlaku.

Agar undang-undang ini dapat mencapai sasaran secara efektif maka diatur pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan berwenang melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama, dan setelah menjabat, termasuk meminta keterangan baik dari mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan prinsip praduqa tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan independensi atau kemandirian dari lembaga ini.

Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para Penyelenggara Negara, antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Ketentuan tentang sanksi dalam undangundang ini berlaku bagi Penyelenggara Negara, masyarakat, dan Komisi Pemeriksa sebagai upaya prefentif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya ketentuan tentang asas-asas urnum penyelenggaraan negara, hak, dan kewajiban Penyelenggara Negara, dan ketentuan lainnya sehingga dapat diharapkan memperkuat norma kelembagaan, moralitas individu dan sosial.







PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Angka 1 s/d Angka 3
Cukup jelas

Angka 4
Yang dimaksud dengan "Gubernur" adalah wakil Pemerintah Pusat di Daerah.

Angka 5
Yang dimaksud dengan "Hakim" dalam ketentuan ini meliputi Hakim di semua tingkatan Pengadilan.

Angka 6
Yang dimaksud dengan "Pejabat Negara yang lain" dalam ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya.

Angka 7
Yang dimaksud dengan "Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi :

1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon 1 dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.

Pasal 3
Angka 1
Yang dimaksud dengan "Asas Kepastian Hukum" adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

Angka 2
Yang dimaksud dengan "Asas Tertib Penyelenggaraan Negara" adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keseraslan, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenqgara Negara.

Angka 3
Yang dimaksud dengan "Asas Kepentingan Umurn" adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

Angka 4
Yang dimaksud dengan "Asas Keterbukaan" adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrirninatif tentang penyeienggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

Angka 5
Yang dimaksud dengan "Asas Proporsionalitas" adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

Angka 6
Yang dimaksud dengan "Asas Profesionalitas" adalah asas yang mengutamakan keahlian yang beriandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 7
Yang dimaksud dengan "Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 4
Pelaksanaan hak Penyelenggara Negara yang ditentukan dalam pasal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 UUD 1945 serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5
Dalam hal Penyelenggara Negara dijabat oieh anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka terhadap pejabat tersebut berlaku ketentuan dalam undang-undang ini.

Angka 1
Cukup jelas 

Angka 2
Apabila Penyelenggara Negara dengan sengaja menghalang-halangi dalam pendataan kekayaannya, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 3
Cukup jelas 

Angka 4
Apabila Penyelenggara Negara.yang didata kekayaannya oleh komisi Pemeriksa dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, maka dikenakan sanksi sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 5 
cukup jelas

Angka 6
cukup jelas

Angka 7 
cukup jelas

Pasal 6
yang dimaksud dengan "hak dan kewajiban Penyelenggara Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UUD 1945" adalah hak dan kewajiban yang dilaksanakan dengan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang lubur dan memegang teguh ciri-ciri morai rakyat vang luhur.

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan menaati norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 9
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat (1) huruf d angka 2) merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat yang oieh undangundang ini diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli. Apabila oieh pihak yang berwenang dipanggif sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli dengan sengaia tidak hadir, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)
Pada dasarnya masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara, namun hak tersebut tetap harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku vang memberikan batasan untuk masalah-masalah tertentu dijamin kerahasiaannya, antara lain yang dijamin oleh Undang-undang tentang Pos dan Undang-undang tentang Perbankan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas


Pasal 11
Yang dimaksud dengan lembaga independen" dalam pasal ini adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lainnya.

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas


Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa dalam ketentuan ini, harus berjumlah ganjil. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengambil keputusan dengan suara terbanyak apabila tidak dapat dicapai pengambilan keputusan dengan musyawarah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Untuk mendapatkan hasil perneriksaan yang dapat dipertanggungiawabkan. anggota sub-subkornisi harus berintegritas tinggi, memiliki keahlian, dan profesiopal di bidangnya. Dalam hal terdapat dugaan adanya keterlibatan pihak, lain seperti keluarga, kroni, dan para pengusaha dalam praktek korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka terhadap mereka dikenakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Sekretariat Jenderal bertugas membantu di bidang pelayanan administrasi untuk kelancaran pelaksanaan tugas Komisi Pemeriksa.

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Pembentukan Komisi Pemeriksa di daerah dimaksudkan untuk membantu tugas Komisi Pemeriksa di daerah, Keanggotaan Komisi Pemeriksa daerah perlu terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan ayat (2) ini pada dasarnya berlaku pula bagi Komisi Pemeriksa di daerah.

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3) 
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pernmeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan. Fungsi perneriksaan yang dilakukan oieh Komisi Pemeriksa sebelum seseorang diangkat selaku Pejabat Negara adalah bersifat pendataan, sedangkan permeriksaan yang dilakukan sesudah Pejabat Negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi  untuk menentukan ada atau tidaknya petuniuk tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang dimaksud dengan "petunjuk" dalam pasal ini adalah fakta-fakta atau data yang menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3851